Langsung ke konten utama

Ketika Realitas Ditentukan oleh Layar


Paul Watson, salah satu pendiri Greenpeace, pernah mengatakan: “Kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, melainkan sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran” Pernyataan ini relevan dengan kondisi kita hari ini, di mana layar televisi dan gawai lebih sering menentukan apa yang kita anggap nyata ketimbang pengalaman langsung.

Media bukan sekadar pemberi informasi. Ia berperan sebagai pabrik realitas yang memproduksi fakta. Fakta yang masuk ke ruang redaksi atau algoritma media sosial tidak hadir begitu saja, melainkan dipilih, dipoles, dan dikemas dalam bahasa yang membentuk makna tertentu. Ketika berita tersaji, kita jarang sadar bahwa ia sudah melewati proses penyaringan yang sarat kepentingan.

Bahasa menjadi senjata utama pembentuk realitas. DeFleur dan Ball-Rokeach menegaskan bahwa media mampu menciptakan istilah baru, memperluas arti lama, bahkan menggeser makna yang sudah ada. Lihat saja kata “viral” yang dulu identik dengan penyakit menular, kini ia merujuk pada konten populer di jagat maya. Pergeseran yang tampak wajar ini sebenarnya menunjukkan media memiliki kuasa untuk menjangkau ruang paling pribadi kita yaitu bahasa dan pikiran kita.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality mengingatkan bahwa realitas sosial dibangun melalui proses pengetahuan. Apa yang kita anggap “kenyataan” sejatinya adalah hasil konstruksi yang diciptakan, dilembagakan, lalu diterima sebagai sesuatu yang alami. Media menjadi perantara utama proses ini, hingga kita lupa membedakan antara fakta objektif dan tafsir yang dibalut tanda-tanda.

Semiotika punya peran penting dalam melihat realiitas. Dengan membacanya, kita bisa menyingkap makna tersembunyi di balik sebuah simbol, gambar, atau narasi media. Tanpa kesadaran ini, publik mudah dikelabui oleh fakta-fakta yang disajikan. Politik, misalnya, sering dimenangkan bukan oleh gagasan, melainkan oleh narasi yang dibungkus dengan citra dan simbol yang sedap dipandang.

Lebih jauh lagi, batas antara dunia nyata dan dunia maya makin kabur. Kita bisa lebih percaya pada berita viral ketimbang kesaksian langsung. Perdebatan publik hingga keputusan politik, kerap dipengaruhi oleh apa yang trending, bukan oleh apa yang benar-benar terjadi. Layar menjadi panggung utama, sementara realitas di lapangan tersisih ke belakang.

Menjadi sebuah keharusan bahwa kita harus lebih kritis. Jangan biarkan layar menentukan seluruh kenyataan hidup kita. Media memang punya kuasa besar, tapi kesadaran kita lebih besar. Kebenaran sejati tidak lahir dari algoritma, tidak juga dari framing berita, melainkan dari keberanian kita memilah mana tanda, mana tafsir, dan mana fakta.

Sumber : 

Abrar, Ana Nadhya. 2000. "Media dan Minimnya Semangat Kese-taraan Gender." Pantau Edisi 08/Maret-April 2000. Hlm. 71-76.

DeFleur, Melvin dan Sandra Ball-Rokeach. 1989. Theories of Mass Communication. 5th Edition. New York: Longman.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge, dan kemudian diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia di bawah judul Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (1990


Khoirul Muthohhirin (Pegiat Ilalang Institute)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gagap Memahami Pesantren: Bias Pemahaman antara Feodalisme dan Penghormatan

Judul              : Tradisi Pesantren Penulis          : Zamakhsyari Dhofier Tahun Terbit: Cetakan ke-8 (Revisi), September 2011 Penerbit        : LP3ES Halaman       : 282 Peresensi      : Khoirul Muthohhirin Tayangan “Xpose Uncensored” di Trans7 pada 13 Oktober 2025 yang menyorot kehidupan pondok pesantren dan figur KH. Anwar Manshur, pendiri Pesantren Hidayatul Mubtadiat Kompleks Lirboyo, memicu kontroversi di publik. Tayangan tersebut menampilkan sosok kiai dan kehidupan pesantren dengan cara yang tidak proporsional, bahkan bernuansa negatif, seolah pesantren adalah institusi feodal dan para santri hidup dalam kultur kepatuhan buta. Padahal, sebagaimana dijelaskan Zamakhsyari Dhofier dalam karyanya Tradisi Pesantren, pandangan seperti itu lahir dari ketidakpahaman terhadap hakikat pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang memiliki sistem nilai dan eti...

Siapa Untung dari Polarisasi? Membongkar Kepentingan di Balik Media Sosial

Pasca demonstrasi besar-besaran beberapa waktu lalu, media sosial kembali memanas. Setiap kali muncul peristiwa politik, mulai dari kebijakan DPR, kasus korupsi, hingga cara Prabowo menangani hiruk-pikuk negara yang menjadikan publik seketika terbelah. Dua kubu atau lebih saling berhadap-hadapan, bukan hanya di jalanan, tetapi juga di lini masa. Fenomena ini semakin diperkuat oleh algoritma. Kita hanya disuguhi konten yang sesuai dengan keyakinan kita, membentuk echo chamber yang mempersempit ruang dialog. Isu yang mestinya bisa dibahas dengan kepala dingin berubah menjadi narasi “kita melawan mereka”. Meme, potongan video, hingga komentar provokatif menjadi bahan bakar agitasi, sementara hoaks dan disinformasi ikut memperlebar jurang perbedaan. Media Sosial sebagai Alat Kepentingan Di balik hiruk-pikuk tersebut, media sosial jelas bukan ruang netral. Ia telah menjelma menjadi alat kepentingan. Aktor politik, kelompok bisnis, bahkan pihak asing memanfaatkan jejaring digital untuk meng...

Dari Kediri hingga Ohara : Ketika Buku Disita dan Pengetahuan Dibungkam

Di sebuah kota di Jawa Timur, Kediri, aparat kepolisian menyita sejumlah buku saat menangkap seorang aktivis literasi berinisial FZ. Buku-buku yang mereka ambil bukan senjata, bukan narkotika, melainkan karya tulis yang membahas tema-tema pemikiran sosial, salah satunya “anarkisme”. Polisi beralasan, buku-buku itu dijadikan barang bukti untuk mendukung proses penyidikan. Namun alasan itu segera menuai gelombang kritik. Melansir dari Tirto.id, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenham) melalui Staf Ahli Rumadi Ahmad menilai penyitaan merupakan bentuk perusakan tradisi literasi dan berlawanan dengan semangat demokrasi serta penghormatan hak asasi manusia. Hal tersebut tidak sejalan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membatalkan peraturan penyitaan buku secara sewenang-wenang. MK menerapkan prosedur penyitaan harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mewajibkan adanya perintah pengadilan—bukan sekadar keputusan aparat di lapangan. Tindakan tersebut menurut ba...