Langsung ke konten utama

Siapa Untung dari Polarisasi? Membongkar Kepentingan di Balik Media Sosial


Pasca demonstrasi besar-besaran beberapa waktu lalu, media sosial kembali memanas. Setiap kali muncul peristiwa politik, mulai dari kebijakan DPR, kasus korupsi, hingga cara Prabowo menangani hiruk-pikuk negara yang menjadikan publik seketika terbelah. Dua kubu atau lebih saling berhadap-hadapan, bukan hanya di jalanan, tetapi juga di lini masa.

Fenomena ini semakin diperkuat oleh algoritma. Kita hanya disuguhi konten yang sesuai dengan keyakinan kita, membentuk echo chamber yang mempersempit ruang dialog. Isu yang mestinya bisa dibahas dengan kepala dingin berubah menjadi narasi “kita melawan mereka”. Meme, potongan video, hingga komentar provokatif menjadi bahan bakar agitasi, sementara hoaks dan disinformasi ikut memperlebar jurang perbedaan.


Media Sosial sebagai Alat Kepentingan

Di balik hiruk-pikuk tersebut, media sosial jelas bukan ruang netral. Ia telah menjelma menjadi alat kepentingan. Aktor politik, kelompok bisnis, bahkan pihak asing memanfaatkan jejaring digital untuk mengarahkan opini publik. Dengan bantuan influencer, buzzer, hingga iklan berbayar, narasi tertentu ditanamkan demi menguntungkan pihak tertentu.

Logika ekonomi platform turut memperkeruh keadaan. Konten yang memicu emosi ekstrem, baik kemarahan maupun kebanggaan yang terbukti lebih cepat viral. Karena itu, algoritma lebih suka mendorong konten kontroversial ketimbang informasi yang menyejukkan. Polarisasi pun bukan lagi sekadar efek samping, melainkan “produk” yang menguntungkan bagi sebagian pihak.


Propaganda: Dulu dan Kini

Apakah fenomena ini baru? Tidak juga. Jauh sebelum era digital, elite politik sudah memanfaatkan media untuk memengaruhi publik. Hitler, misalnya, menjadikan pers sebagai alat propaganda untuk membujuk massa. Bedanya, jika dulu propaganda membutuhkan ruang cetak atau siaran, kini agitasi hadir jauh lebih masif. Ia menyapa kita setiap detik lewat gawai, dengan validitas yang kerap diragukan.


Media: Senjata Bermata Dua

Lalu, apakah kita akan terus membiarkan diri digiring oleh algoritma dan agitasi? Ataukah kita memilih menjadi pengguna yang kritis, bijak, dan mampu menjaga akal sehat di tengah banjir informasi?

Kita harus ingat, media adalah senjata bermata dua. Ia bisa dipakai untuk mencerahkan, tapi juga bisa menjadi alat pembunuh, bukan hanya terhadap lawan, melainkan juga terhadap diri sendiri. Dan soal netralitas media, mari jujur: tidak ada media yang benar-benar netral. Selalu ada kepentingan dan keberpihakan. Pertanyaannya, keberpihakan itu kepada siapa, dan siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari polarisasi yang terus dipelihara?


Menjadi Pengguna yang Berdaya

Jawabannya ada pada kita sebagai pengguna. Literasi digital menjadi kunci. Kita perlu lebih jeli memilah informasi, berani memverifikasi sumber, dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi emosional. Media sosial seharusnya kita gunakan sebagai ruang memperluas wawasan, bukan hanya memperkuat tembok identitas kelompok.

Dengan sikap kritis, kita bisa membalik keadaan: dari sekadar objek agitasi menjadi subjek yang berdaya. Karena pada akhirnya, bukan algoritma yang menentukan arah masyarakat, melainkan pilihan kolektif kita dalam mengelola ruang digital.


Khoirul Mutohhirin (Pegiat Ilalang Institute)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gagap Memahami Pesantren: Bias Pemahaman antara Feodalisme dan Penghormatan

Judul              : Tradisi Pesantren Penulis          : Zamakhsyari Dhofier Tahun Terbit: Cetakan ke-8 (Revisi), September 2011 Penerbit        : LP3ES Halaman       : 282 Peresensi      : Khoirul Muthohhirin Tayangan “Xpose Uncensored” di Trans7 pada 13 Oktober 2025 yang menyorot kehidupan pondok pesantren dan figur KH. Anwar Manshur, pendiri Pesantren Hidayatul Mubtadiat Kompleks Lirboyo, memicu kontroversi di publik. Tayangan tersebut menampilkan sosok kiai dan kehidupan pesantren dengan cara yang tidak proporsional, bahkan bernuansa negatif, seolah pesantren adalah institusi feodal dan para santri hidup dalam kultur kepatuhan buta. Padahal, sebagaimana dijelaskan Zamakhsyari Dhofier dalam karyanya Tradisi Pesantren, pandangan seperti itu lahir dari ketidakpahaman terhadap hakikat pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang memiliki sistem nilai dan eti...

Dari Kediri hingga Ohara : Ketika Buku Disita dan Pengetahuan Dibungkam

Di sebuah kota di Jawa Timur, Kediri, aparat kepolisian menyita sejumlah buku saat menangkap seorang aktivis literasi berinisial FZ. Buku-buku yang mereka ambil bukan senjata, bukan narkotika, melainkan karya tulis yang membahas tema-tema pemikiran sosial, salah satunya “anarkisme”. Polisi beralasan, buku-buku itu dijadikan barang bukti untuk mendukung proses penyidikan. Namun alasan itu segera menuai gelombang kritik. Melansir dari Tirto.id, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenham) melalui Staf Ahli Rumadi Ahmad menilai penyitaan merupakan bentuk perusakan tradisi literasi dan berlawanan dengan semangat demokrasi serta penghormatan hak asasi manusia. Hal tersebut tidak sejalan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membatalkan peraturan penyitaan buku secara sewenang-wenang. MK menerapkan prosedur penyitaan harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mewajibkan adanya perintah pengadilan—bukan sekadar keputusan aparat di lapangan. Tindakan tersebut menurut ba...