Di sebuah kota di Jawa Timur, Kediri, aparat kepolisian menyita sejumlah buku saat menangkap seorang aktivis literasi berinisial FZ. Buku-buku yang mereka ambil bukan senjata, bukan narkotika, melainkan karya tulis yang membahas tema-tema pemikiran sosial, salah satunya “anarkisme”. Polisi beralasan, buku-buku itu dijadikan barang bukti untuk mendukung proses penyidikan. Namun alasan itu segera menuai gelombang kritik.
Melansir dari Tirto.id, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenham) melalui Staf Ahli Rumadi Ahmad menilai penyitaan merupakan bentuk perusakan tradisi literasi dan berlawanan dengan semangat demokrasi serta penghormatan hak asasi manusia. Hal tersebut tidak sejalan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membatalkan peraturan penyitaan buku secara sewenang-wenang. MK menerapkan prosedur penyitaan harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mewajibkan adanya perintah pengadilan—bukan sekadar keputusan aparat di lapangan.
Tindakan tersebut menurut banyak pengamat disebut sebagai pelucutan intelektual. Fenomena tersebut merupakan bentuk upaya sistematis untuk membatasi ruang berpikir dan membaca masyarakat. Pada hakitanya buku merupakan media untuk menyerap dan bertugas gagasan. Buku adalah pintu untuk menguak luasnya dunia dan sumber imajinasi serta kritik sosial. Ketika pintu itu ditutup secara paksa, maka masyarakat hanya memperoleh informasi dari satu arah dari penguasa.
Fenomena ini mengingatkan kita pada sebuah kisah fiksi yang tak kalah mencekam yaitu Tragedi Ohara dalam manga dan anime One Piece. Di pulau Ohara, para arkeolog meneliti “Void Century” yaitu sejarah dunia yang sengaja dihapus oleh Pemerintah Dunia. Ketika penelitian mereka terendus oleh pemerintah, maka terjadilah operasi Buster Call. Buster Call merupakan operasi militer untuk menghancurkan pulau dan membakar “Tree of Knowledge,” perpustakaan raksasa yang menyimpan naskah kuno. Ilmuwan dan peneliti dibunuh, buku-buku dilahap api dan Ohara dihapus dari peta seolah tak pernah ada.
Tragedi Ohara adalah alegori yang dibuat untuk menggambarkan cara kekuasaan mengendalikan pengetahuan. Pemerintah Dunia di One Piece menuduh para Ilmuwan dan Peneliti sebagai ancaman yang dapat menghancurkan dunia. Narasi yang dibangun seakan menjustifikasi tindakan semena-mena pemerintah. Begitu pula dalam sejarah nyata, tudingan subversif, anarkis atau pengacau sering menjadi dalih untuk membungkam suara-suara yang mempertanyakan kebenaran resmi.
Pertanyaan muncul dibenak kita, mengapa kaum intelektual begitu ditakuti? Karena ide adalah kekuatan yang tak bisa diborgol. Pemikiran kritis mengguncang fondasi legitimasi, menggali sejarah yang disembunyikan, dan membuka kemungkinan perubahan. Mengendalikan buku berarti mengendalikan pikiran, menghapus arsip berarti menghapus memori kolektif, menstigma intelektual berarti memutus mata rantai pengetahuan bagi generasi berikutnya.
Dari Kediri hingga Ohara, kita diingatkan bahwa pembungkaman tidak selalu datang dengan senjata dan kekerasan terang-terangan. Kadang ia hadir lewat prosedur “hukum,” lewat segel di sampul buku, lewat label “barang bukti.” Namun efeknya sama: masyarakat kehilangan ruang untuk bertanya, berdiskusi, dan membayangkan dunia yang lebih adil.
Ketika buku-buku disita, yang dipertaruhkan bukan hanya kertas dan tinta, tetapi masa depan kebebasan berpikir kita semua.
Sumber :
https://tirto.id/kemenham-penyitaan-buku-oleh-polisi-rusak-tradisi-literasi-hien
https://daerah.sindonews.com/newsread/1624337/174/kementerian-ham-sesalkan-penyitaan-buku-di-kediri-oleh-polisi-1758694148
https://m.antaranews.com/berita/5129188/kemenham-penyitaan-buku-tak-sejalan-dengan-demokrasi-dan-ham
https://nasional.kompas.com/read/2025/09/24/09450011/menyoal-penyitaan-buku-pada-aksi-demonstrasi?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Bottom_Mobile
https://onepiece.fandom.com/wiki/Ohara_Incident
Khoirul Muttohhirin (Pegiat Ilalang Institute)

Komentar
Posting Komentar