Dalam dunia fiksi, kita sering melihat garis tegas antara pahlawan dan penjahat. Namun, Eiichiro Oda dalam manga legendarisnya, yakni One Piece menggugat pandangan itu. Saat perang Marineford, Doflamingo melontarkan kalimat yang mengguncang: “Keadilan hanyalah kata yang dipakai oleh pemenang.” Kalimat ini sederhana tapi tajam, yaitu siapa yang menang, dialah yang berhak menulis cerita tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.
Marine digambarkan sebagai simbol hukum dan ketertiban, pahlawan yang melindungi rakyat. Sebaliknya, bajak laut dicap penjahat. Tapi benarkah demikian? Luffy dan krunya justru menolong banyak rakyat tertindas, sementara Marine kerap menjalankan perintah pemerintah dunia yang penuh kepentingan. Pahlawan dan penjahat di sini tidaklah sesederhana warna hitam dan putih.
Fenomena yang sama bisa kita temukan dalam sejarah Indonesia, khususnya peristiwa G30S/PKI. Setelah 1965, militer muncul sebagai “pahlawan” yang menyelamatkan bangsa dari ancaman komunisme. Di sisi lain, PKI dan segala yang berbau kiri dilabeli sebagai pengkhianat, penjahat, bahkan atheis yang dianggap musuh agama. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan di sekolah-sekolah menjadi alat propaganda untuk memperkuat narasi itu.
Padahal, seperti dalam One Piece, kenyataan jauh lebih kompleks. Banyak aktivis kiri kala itu yang sebenarnya berjuang untuk keadilan sosial: memperjuangkan hak buruh, petani, dan rakyat kecil. Namun karena kalah dalam pertarungan politik, suara mereka dibungkam, warisan mereka dihapus, dan nama mereka dicap sebagai kejahatan. Sama seperti bajak laut dalam cerita Oda, mereka tidak diberi ruang untuk menjelaskan versinya sendiri.
Pertanyaannya: di mana keadilan sejati?
Filsuf John Rawls pernah menyatakan bahwa keadilan harus lahir dari prinsip fairness yakni kesetaraan kesempatan dan kebebasan dasar bagi semua orang. Sementara Hannah Arendt mengingatkan bahwa propaganda yang mengaburkan sejarah justru menghancurkan ruang publik yang sehat. Dengan kata lain, keadilan tidak boleh hanya ditentukan oleh siapa yang berkuasa.
Hari ini, meski Indonesia sudah memasuki era reformasi, bayang-bayang narasi lama masih ada. Diskursus kiri sering dicurigai, sementara militer tetap menempati posisi kuat dalam politik. Sama seperti Marine dalam One Piece, mereka sering dipandang otomatis benar, sementara pihak lain ditutup ruangnya.
Padahal, seperti yang ditunjukkan Oda lewat Luffy, keadilan bukan soal label, melainkan soal keberpihakan pada rakyat kecil. Pahlawan sejati adalah mereka yang melindungi yang lemah, bukan mereka yang sekadar menang lalu menulis sejarah sesuai kepentingannya.
Mungkin, inilah pesan yang bisa kita tarik: keadilan sejati adalah keberanian untuk melihat di luar label “pahlawan” dan “penjahat.” Karena dalam sejarah maupun fiksi, pemenang boleh saja menulis cerita, tapi kebenaran sejati selalu lebih rumit daripada propaganda.
Referensi
Eiichiro Oda, One Piece (Arc Marineford).
John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto.
Ariel Heryanto, Perlawanan dalam Kepatuhan.
John Rawls, A Theory of Justice.
Hannah Arendt, Truth and Politics.
Khoirul Muttohhirin (Pegiat Ilalang Institute)

Komentar
Posting Komentar