Langsung ke konten utama

Eksploitasi Migas di Laut Madura: Kekayaan Alam Tanpa Manfaat Nyata bagi Masyarakat Lokal Pulau Garam.

 

Pulau Madura — Meski dikabarkan memiliki potensi besar dalam sektor minyak dan gas bumi (migas), kenyataannya masyarakat di pulau garam inimasih hidup dalam kondisi kemiskinan yang serius. Ini bukan soal kekurangan sumber daya alam, melainkan soal bagaimana pengelolaan kekayaan itu dan siapa yang benar-benar mendapat manfaatnya.

Selama lebih dari tiga dekade eksplorasi kawasan laut Madura, sejumlah titik pengeboran migas telah dilakukan di wilayah yang membentang dari Kabupaten Bangkalan di barat hingga Kabupaten Sumenep di timur. Meskipun jumlah pasti “67 titik migas” sulit diverifikasi secara terbuka, terungkap bahwa kegiatan survei seismik dipusatkan di pesisir utara Madura dan melibatkan operator internasional seperti Petronas.

Namun, ketika kita melihat data kesejahteraan, ironinya masyarakat Madura jauh dari “kekayaan”. Untuk tahun 2024, persentase penduduk miskin tercatat: Kabupaten Sampang 20,83 %, Bangkalan 18,66 %, Sumenep 17,78 %, Pamekasan 13,41 %. Semua berada di atas rata-rata Provinsi Jawa Timur, yang berada sekitar 9,79 %. 

Lebih lanjut, laporan menyebut bahwa dana bagi hasil (DBH) migas yang diterima empat kabupaten Madura pada 2023 hanya sekitar Rp 123 miliar — artinya secara kasar setiap penduduk hanya memperoleh sekitar Rp 31 000 per orang. (www.jpnn.com)

Dengan kondisi seperti ini, muncul pertanyaan mendasar: Untuk siapa kekayaan alam itu, dan mengapa rakyat lokal tampaknya tidak menikmati hasilnya?

Kendala regulasi dan tata kelola

Salah satu akar masalah adalah regulasi yang dianggap belum memadai. Saat ini, regulasi utama untuk migas adalah Undang‑Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). 

Meski sudah lebih dari dua dekade berlaku, UU ini belum direvisi secara tuntas. DPR RI dan pemerintah menyebut bahwa revisi diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan keberlanjutan investasi migas. 

Ketiadaan revisi berarti pengaturan mengenai pembagian hasil, kewenangan daerah, lingkungan dan pemberdayaan tenaga kerja lokal masih lemah. Di Madura misalnya, pengelolaan laut untuk migas turut memunculkan konflik dengan sektor perikanan seperti survei seismik yang menunda aktivitas nelayan dan belum jelas kompensasinya. 

Kemiskinan dan sumber daya manusia

Wilayah Madura masih tertinggal dari segi kualitas sumber daya manusia (SDM). Sebagai contoh, di Kabupaten Sumenep indeks pembangunan manusia (IPM) tahun 2022 tercatat 67,8, sedangkan Bangkalan 65, Sampang hanya 63,3. 

Artinya, walaupun secara geografis dan sumber daya alam cukup dekat dengan infrastruktur Jawa Timur, daerah ini belum mampu menangkap manfaat penuh dari eksploitasi migas dan potensi wilayahnya.

Siapa yang mengambil keuntungan?

Kekayaan migas yang “melintas” Madura tampaknya lebih banyak dinikmati operator besar—termasuk perusahaan asing—daripada masyarakat lokal. Contoh: Petronas melalui proyek lapangan Hidayah di Madura menargetkan produksi minyak sekitar 8.973 barrel per hari dan cadangan hingga 88,55 juta barel. 

Sementara, masyarakat yang secara langsung merasakan potensi dan risiko eksplorasi (nelayan pantura, misalnya) belum memperoleh kompensasi memadai dan belum ikut dalam rantai nilai yang bermakna.

Apa yang harus dilakukan?

Sebagai opini, saya mengajukan beberapa rekomendasi:

Percepatan revisi UU Migas — Regulasi harus diperbarui untuk mencakup keadilan distribusi hasil, pemberdayaan lokal, kewenangan daerah, dan perlindungan lingkungan.

Transparansi bagi hasil — Pemerintah daerah dan pusat harus memastikan bahwa DBH migas, keuntungan eksploitasi, dan kontrak KKKS dapat diakses publik, sehingga masyarakat tahu “kemana alirannya”.

Pemberdayaan SDM lokal — Investasi eksplorasi seperti di Madura harus disertai pendidikan dan pelatihan agar masyarakat lokal dapat bekerja atau mendapat manfaat dari industri migas.

Partisipasi masyarakat — Nelayan dan komunitas pesisir harus dilibatkan secara aktif dalam proses survei, eksplorasi, dan kegiatan migas, serta diberi kompensasi adil jika terganggu.

Pengelolaan lingkungan yang ketat — Eksplorasi laut berisiko tinggi terhadap ekosistem dan mata pencaharian nelayan. Regulasi dan pengawasan harus memastikan kerusakan minimal dan pemulihan maksimal.


Ayu Fauziah (kontributor ilalang institute)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gagap Memahami Pesantren: Bias Pemahaman antara Feodalisme dan Penghormatan

Judul              : Tradisi Pesantren Penulis          : Zamakhsyari Dhofier Tahun Terbit: Cetakan ke-8 (Revisi), September 2011 Penerbit        : LP3ES Halaman       : 282 Peresensi      : Khoirul Muthohhirin Tayangan “Xpose Uncensored” di Trans7 pada 13 Oktober 2025 yang menyorot kehidupan pondok pesantren dan figur KH. Anwar Manshur, pendiri Pesantren Hidayatul Mubtadiat Kompleks Lirboyo, memicu kontroversi di publik. Tayangan tersebut menampilkan sosok kiai dan kehidupan pesantren dengan cara yang tidak proporsional, bahkan bernuansa negatif, seolah pesantren adalah institusi feodal dan para santri hidup dalam kultur kepatuhan buta. Padahal, sebagaimana dijelaskan Zamakhsyari Dhofier dalam karyanya Tradisi Pesantren, pandangan seperti itu lahir dari ketidakpahaman terhadap hakikat pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang memiliki sistem nilai dan eti...

Siapa Untung dari Polarisasi? Membongkar Kepentingan di Balik Media Sosial

Pasca demonstrasi besar-besaran beberapa waktu lalu, media sosial kembali memanas. Setiap kali muncul peristiwa politik, mulai dari kebijakan DPR, kasus korupsi, hingga cara Prabowo menangani hiruk-pikuk negara yang menjadikan publik seketika terbelah. Dua kubu atau lebih saling berhadap-hadapan, bukan hanya di jalanan, tetapi juga di lini masa. Fenomena ini semakin diperkuat oleh algoritma. Kita hanya disuguhi konten yang sesuai dengan keyakinan kita, membentuk echo chamber yang mempersempit ruang dialog. Isu yang mestinya bisa dibahas dengan kepala dingin berubah menjadi narasi “kita melawan mereka”. Meme, potongan video, hingga komentar provokatif menjadi bahan bakar agitasi, sementara hoaks dan disinformasi ikut memperlebar jurang perbedaan. Media Sosial sebagai Alat Kepentingan Di balik hiruk-pikuk tersebut, media sosial jelas bukan ruang netral. Ia telah menjelma menjadi alat kepentingan. Aktor politik, kelompok bisnis, bahkan pihak asing memanfaatkan jejaring digital untuk meng...

Dari Kediri hingga Ohara : Ketika Buku Disita dan Pengetahuan Dibungkam

Di sebuah kota di Jawa Timur, Kediri, aparat kepolisian menyita sejumlah buku saat menangkap seorang aktivis literasi berinisial FZ. Buku-buku yang mereka ambil bukan senjata, bukan narkotika, melainkan karya tulis yang membahas tema-tema pemikiran sosial, salah satunya “anarkisme”. Polisi beralasan, buku-buku itu dijadikan barang bukti untuk mendukung proses penyidikan. Namun alasan itu segera menuai gelombang kritik. Melansir dari Tirto.id, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenham) melalui Staf Ahli Rumadi Ahmad menilai penyitaan merupakan bentuk perusakan tradisi literasi dan berlawanan dengan semangat demokrasi serta penghormatan hak asasi manusia. Hal tersebut tidak sejalan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membatalkan peraturan penyitaan buku secara sewenang-wenang. MK menerapkan prosedur penyitaan harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mewajibkan adanya perintah pengadilan—bukan sekadar keputusan aparat di lapangan. Tindakan tersebut menurut ba...