Langsung ke konten utama

Postingan

Eksploitasi Migas di Laut Madura: Kekayaan Alam Tanpa Manfaat Nyata bagi Masyarakat Lokal Pulau Garam.

  Pulau Madura — Meski dikabarkan memiliki potensi besar dalam sektor minyak dan gas bumi (migas), kenyataannya masyarakat di pulau garam inimasih hidup dalam kondisi kemiskinan yang serius. Ini bukan soal kekurangan sumber daya alam, melainkan soal bagaimana pengelolaan kekayaan itu dan siapa yang benar-benar mendapat manfaatnya. Selama lebih dari tiga dekade eksplorasi kawasan laut Madura, sejumlah titik pengeboran migas telah dilakukan di wilayah yang membentang dari Kabupaten Bangkalan di barat hingga Kabupaten Sumenep di timur. Meskipun jumlah pasti “67 titik migas” sulit diverifikasi secara terbuka, terungkap bahwa kegiatan survei seismik dipusatkan di pesisir utara Madura dan melibatkan operator internasional seperti Petronas. Namun, ketika kita melihat data kesejahteraan, ironinya masyarakat Madura jauh dari “kekayaan”. Untuk tahun 2024, persentase penduduk miskin tercatat: Kabupaten Sampang 20,83 %, Bangkalan 18,66 %, Sumenep 17,78 %, Pamekasan 13,41 %. Semua berada di ata...
Postingan terbaru

Gagap Memahami Pesantren: Bias Pemahaman antara Feodalisme dan Penghormatan

Judul              : Tradisi Pesantren Penulis          : Zamakhsyari Dhofier Tahun Terbit: Cetakan ke-8 (Revisi), September 2011 Penerbit        : LP3ES Halaman       : 282 Peresensi      : Khoirul Muthohhirin Tayangan “Xpose Uncensored” di Trans7 pada 13 Oktober 2025 yang menyorot kehidupan pondok pesantren dan figur KH. Anwar Manshur, pendiri Pesantren Hidayatul Mubtadiat Kompleks Lirboyo, memicu kontroversi di publik. Tayangan tersebut menampilkan sosok kiai dan kehidupan pesantren dengan cara yang tidak proporsional, bahkan bernuansa negatif, seolah pesantren adalah institusi feodal dan para santri hidup dalam kultur kepatuhan buta. Padahal, sebagaimana dijelaskan Zamakhsyari Dhofier dalam karyanya Tradisi Pesantren, pandangan seperti itu lahir dari ketidakpahaman terhadap hakikat pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang memiliki sistem nilai dan eti...

Pahlawan, Penjahat, dan Siapa yang Menentukan Keadilan

Dalam dunia fiksi, kita sering melihat garis tegas antara pahlawan dan penjahat. Namun, Eiichiro Oda dalam manga legendarisnya, yakni One Piece  menggugat pandangan itu. Saat perang Marineford, Doflamingo melontarkan kalimat yang mengguncang: “Keadilan hanyalah kata yang dipakai oleh pemenang.” Kalimat ini sederhana tapi tajam, yaitu siapa yang menang, dialah yang berhak menulis cerita tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Marine digambarkan sebagai simbol hukum dan ketertiban, pahlawan yang melindungi rakyat. Sebaliknya, bajak laut dicap penjahat. Tapi benarkah demikian? Luffy dan krunya justru menolong banyak rakyat tertindas, sementara Marine kerap menjalankan perintah pemerintah dunia yang penuh kepentingan. Pahlawan dan penjahat di sini tidaklah sesederhana warna hitam dan putih. Fenomena yang sama bisa kita temukan dalam sejarah Indonesia, khususnya peristiwa G30S/PKI. Setelah 1965, militer muncul sebagai “pahlawan” yang menyelamatkan bangsa dari ancaman komunisme. D...

Paradoksal Indonesia: Ambisi Menjadi Agen Perdamaian Dunia di Tengah Krisis Sosial Domestik

  Pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa waktu lalu menarik perhatian publik, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam pidatonya, Presiden menegaskan komitmen Indonesia untuk menjadi agen perdamaian dunia, ia menyatakan terkait kesiapan menyumbangkan tenaga, pikiran, bahkan dukungan finansial demi menjaga stabilitas global. Komitmen ini selaras dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan peran aktif Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan. Seakan tidak melakukan analisis dalam ranah domestik, di tengah carut-marutnya kondisi sosial, ekonomi, dan politik, keputusan menyatakan   komitmen besar di kancah global ini justru memicu pertanyaan: sudahkah Indonesia benar-benar damai dan sejahtera di dalam negeri? Krisis Sosial dan Ekonomi yang Tak Kunjung Usai Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menghadapi berbagai tantangan serius. Ketimpangan sosial meningkat, kemisk...

Dari Kediri hingga Ohara : Ketika Buku Disita dan Pengetahuan Dibungkam

Di sebuah kota di Jawa Timur, Kediri, aparat kepolisian menyita sejumlah buku saat menangkap seorang aktivis literasi berinisial FZ. Buku-buku yang mereka ambil bukan senjata, bukan narkotika, melainkan karya tulis yang membahas tema-tema pemikiran sosial, salah satunya “anarkisme”. Polisi beralasan, buku-buku itu dijadikan barang bukti untuk mendukung proses penyidikan. Namun alasan itu segera menuai gelombang kritik. Melansir dari Tirto.id, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenham) melalui Staf Ahli Rumadi Ahmad menilai penyitaan merupakan bentuk perusakan tradisi literasi dan berlawanan dengan semangat demokrasi serta penghormatan hak asasi manusia. Hal tersebut tidak sejalan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membatalkan peraturan penyitaan buku secara sewenang-wenang. MK menerapkan prosedur penyitaan harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mewajibkan adanya perintah pengadilan—bukan sekadar keputusan aparat di lapangan. Tindakan tersebut menurut ba...

Ada yang Lebih Mengerikan daripada Darurat Militer: Darurat Membaca

Di tengah riuh rendah politik dan hiruk-pikuk isu keamanan, ada satu darurat yang jarang dibicarakan: darurat membaca. Padahal, data terbaru PISA 2022 menunjukkan skor literasi membaca Indonesia hanya 359, turun dari 371 pada 2018. Lebih dari 60 persen siswa Indonesia hanya berada di Level 1—hanya mampu memahami teks sederhana tanpa bisa menafsirkan informasi yang lebih kompleks. Darurat ini sesungguhnya lebih mengerikan daripada darurat militer. Jika darurat militer mengancam fisik, maka darurat membaca mengancam daya pikir. Bangsa dengan literasi rendah mudah terjebak hoaks, sulit bersaing dalam inovasi, dan hanya menjadi penonton di panggung global. Namun, ada titik terang. Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) 2024 meningkat menjadi 73,52, naik 5,9 persen dari tahun 2023. Angka ini menandakan adanya gairah membaca yang mulai tumbuh, meski belum cukup kuat untuk menutup ketertinggalan. Lalu apa yang bisa dilakukan? Pertama, jadikan literasi sebagai fondasi seluruh mata pelaj...

Ketika Realitas Ditentukan oleh Layar

Paul Watson, salah satu pendiri Greenpeace, pernah mengatakan: “Kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, melainkan sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran” Pernyataan ini relevan dengan kondisi kita hari ini, di mana layar televisi dan gawai lebih sering menentukan apa yang kita anggap nyata ketimbang pengalaman langsung. Media bukan sekadar pemberi informasi. Ia berperan sebagai pabrik realitas yang memproduksi fakta. Fakta yang masuk ke ruang redaksi atau algoritma media sosial tidak hadir begitu saja, melainkan dipilih, dipoles, dan dikemas dalam bahasa yang membentuk makna tertentu. Ketika berita tersaji, kita jarang sadar bahwa ia sudah melewati proses penyaringan yang sarat kepentingan. Bahasa menjadi senjata utama pembentuk realitas. DeFleur dan Ball-Rokeach menegaskan bahwa media mampu menciptakan istilah baru, memperluas arti lama, bahkan menggeser makna yang sudah ada. Lihat saja kata “viral” yang dulu identik dengan penyakit menular, kini ia me...